wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t
Bookmark

Sejarah Singkat Gereja HKI

Sejarah Singkat Gereja HKI

HKI Jalan Malanthon Siregar Tempo Dulu
HKI Jalan Melanthon Tempo Dulu

“Aku akan mengutus dari antara mereka ke pulau-pulau yang jauh yang belum pernah mendengar kabar tentang Aku dan yang belum pernah melihat kemuliaan-Ku” (Yes. 66:10).

PENDAHULUAN


Suku Batak adalah salah satu suku yang cukup besar di Indonesia. Karena kebesarannya, orang Batak selalu menyebut “Bangso Batak”. Menurut Sejarah, suku Batak menyebar dari Pulau Samosir ke daerah-daerah lainnya di Indonesia. Suku Batak terdiri dari lima etnis, yaitu : Toba, Simalungun, Karo, Pakpak-Dairi, Angkola-Mandailing. Berabad-abad lamanya, suku Batak berada dalam “kegelapan”.

Kunjungi

Oleh Anugerah Allah yang dinyatakan dalam Yesus Kristus, setelah tiba waktunya, Allah mengutus hamba-hamba-Nya memberitakan Injil ke tengah-tengah suku Batak yang masih berada dalam kegelapan itu.
Bangsa Belanda yang sudah ± 226 tahun menjajah Indonesia, senantiasa berusaha memajukan usaha dagangnya (VOC). Dalam waktu yang bersamaan, mereka melihat bahwa penduduk di Indonesia masih lebih banyak yang belum beragama, selain agama suku. Keadaan ini mereka beritakan kepada Gereja-Gereja di Negeri Belanda. Atas dasar berita ini, Gereja Belanda melalui Badan Zending NZG (Nederlanche Zending Genoschap) mulai mengutus Penginjil ke Indonesia. Mereka memula Penginjilan itu dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh militer Belanda karena dianggap lebih aman. Mereka memulai pekerjaan itu dari Batavia (Jakarta sekarang).
Di samping Gereja Belanda, Gereja Baptis Amerika Serikat juga mengutus dua orang Misionaris untuk bekerja di Indonesia. Akan tetapi hingga akhir pelayanannya kedua misionaris itu belum berhasil menyebarkan Injil ke Tanah Batak. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1834, Gereja Boston Amerika Serikat mengutus dua orang lagi Penginjil untuk bekerja di Tanah Baatak, mereka adalah Tuan Munson dan Tuan Lyman. Setelah menempuh jarak kira-kira 100 km dari suatu daerah yang benama Barus dengan berjalan kaki melewati rawa-rawa, gunung-gunung, batu terjal dan hutan belukar, mereka sampai di Sisangkak, Lobupining kira-kira 10 km dari Tarutung ke arah Sibolga. Kedua orang Misionaris ini ditolak dan dibunuh oleh penduduk setempat tanggal 28 Juni 1834.
Setelah beberapa tahun Badan Zending Belanda NZG bekerja di Batavia, mereka pun mulai melakukan penginjilan ke tanah Batak dengan mengutus seorang Misionaris bernama Pdt. Van Asselt. Mereka memulainya dari arah selatan (Sipirok). Van asselt disusul oleh dua orang Misionaris dari Badan Zending Jerman “Reinsche Mission Gesellschaft" (RMG), yaitu Pdt. Heiny dan Pdt. Klammer ke Sipirok. Sebelumnya kedua Misionars ini pertama kali diutus oleh Badan Zending RMG bekerja ke Borneo (Kalimantan), akan tetapi, mereka ditolak disana kemudian kembali ke Batavia lalu diutus ke Tanah Batak (Sipirok).
Setelah kedua misionars RMG ini sampai di sipirok, pada tanggal 07 Oktober 1861 tugas penginjilan selanjutnya di Tanah Batak diserahkan oleh NZG (Van Asselt) kepada RMG (Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer). Tanggal serah terima inilah yang dicatat sebagai permulaan keKristenan di tanah Batak.
Satu Tahun kemudian, RMG mengutus seorang misionaris, yaitu Pdt. I. L Nommensen (Ingwer Ludwig Nommensen), yang akhirnya kita sebut sebagai Rasul Orang Batak (apostel ni halak Batak). Beliau sampai di Barus pada tanggal 14 Mei 1862 dan terus ke Sipirok dan bergabung dengan misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer. Setelah berdiskusi dengan kedua Misioanaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nomensen akan bekerja di Silindung. Kunjungan Pertama ke Tarutung dilakukan oleh Nomensen pada Tanggal 11 November 1863. Pada Kunjungan pertama ini, Nomensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal dirumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas Lumbantobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.
Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung dan tiba di Tarutung pada tanggal 07 Mei 1864. Nomensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nomensen lalu pergi ke desa lain dan sampai di desa Raja Aman Dari Lumbantobing. Nommensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengijinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi Raja Aman Lumbantobing sedang pergi ke desa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nomensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Dari Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Dari Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Dari Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman Dari Lumbantobing ke desanya, penyakit isterinya akan hilang”. Raja Aman Dari Lumbantobing kemudian berkata, apabila perkataan Nommensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nommensen tinggal di rumahnya. Oleh kuasa Tuhan Sang Kepala Gereja, apa yang dikatakan oleh Nommensen terjadi. Penyakit istri Raja Aman Dari Lumbantobing sembuh. Raja Aman Dari Lumbantobing kemudian menginjinkan Nomensen tinggal dirumahnya.

Baca Juga!

Akan tetapi, pada mulanya Raja Pontas Lumbantobing tidak mau menerima Nommensen. Dia berusaha mempengaruhi para raja di Silindung supaya menolak Nommensen. Sebaliknya, Raja Aman Dari Lumbantobing, juga berusaha mempengaruhi para raja di Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di sekitar Silindung terbagi dua dalam hal penerimaan terhadap Nommensen. Walaupun masyarakat Silindung terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nommensen), Nommensen tetap berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil.
Oleh Kuasa Tuhan, satu Tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nomensen dapat melakukan pembaptisan pertama kepada satu orang Batak. Bahkan di Kemudian hari, Raja Pontas Lumbantobing yang dulunya menolak Nommensen, meminta supaya dia dan keluarganya dibaptiskan. Pada saat itu juga Raja Pontas meminta supaya Nommensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya masuk Kristen, masyarakat Silindung makin banyak masuk Kristen.
Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di Silindung, Nomensen membuka Sekolah Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi guru Injil dan Guru Sekolah. Dikemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke Sipoholon. Kemudian, Nommensen membuka Pos Penginjilan baru di Sigumpar. Dari sanalah beliau menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke seluruh Toba Holbung dan Samosir.
Nommensen meninggal pada pada tanggal 22 Mei 1918 dan dikebumikan pada tanggal 24 Mei 1918 di Sigumpar, di samping makam isterinya tercinta yang telah mendahuluinya.

GERAKAN KEMANDRIAN GEREJA BATAK


Untuk meningkatkan taraf hidup, banyak orang Batak Kristen yang merantau ke Pesisir Timur Pulau Sumatera dan Jawa. Kebanyakan dari mereka yang pindah adalah Petani yang bersahaja, hanya sedikit dari antara mereka yang bekerja di perkebunan. Kita tidak mengetahui secara pasti kapan mulai terjadi. Yang dapat kita catat adalah bahwa sejak tahun 1907 para perantau ini sudah mendirikan Gereja-gerejanya sendiri di sekitar perkebunan Tapanuli, kota-kota pesisir Sumatera Timur hingga pada Tahun 1920 di Jakarta yang dikaitkan dengan tradisi Gereja Batak di Tapanuli dan dengan RMG.
Gereja-Gereja di Perantauan ini makin gencar menuntut kemandirian Gerejanya dari RMG. Mereka makin mendorong usaha kemandirian yang telah dilakukan melalui pendirian “Pardonganon Kongsi Mission Batak" (PMB) pada tanggal 02 November 1909 di Tarutung dan “Hadomuan Kristen Batak” (HKB) pada tanggal 28 September 1917 di Balige.

HOERIA CHRISTEN BATAK (H.Ch.B) Adalah Gereja Mandiri yang Pertama


Berdiri pada 01 Mei 1927
Sejak Tahun 1907 sudah ada jemaat yang dirikan oleh RMG di Pematang Siantar (Jalan Gereja sekarang) dan jemaat ini menjadi pusat utama para Misioner RMG di Sumatera Timur. Akan tetapi, warga Jemaatnya banyak yang tersebar disekitar pinggiran kota Pematang Siantar yang jaraknya ± 4 km dari Gereja ini dan F. Sutan Malu Panggabean adalah salah seorang dari antaranya. Mempertimbangkan sulitnya menjangkau Gereja di Pematang Siantar dengan jalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean (yang adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipoholon tahun 1909) mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider (Missionari RMG) di Gereja Pematang Siantar.

Baca Juga!

Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG, serta penolakan mendirikan emaat baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di Pematang Siantar, adalah menjadi salah satu alasan untuk mendirikan satu Gereja baru di Pantoan yang kemudian disebut Hoeria Christen Batak (H.Ch.B).
Sebenarnya, sejak tahun 1927, F. Sutan Malu Panggabean sudah mulai melakukan kebaktian Minggu dirumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi, baru pada tanggal 01 April 1927 membuat surat pemberitahuan resmi kepada pemerintahan. Alasan utama mendirikan Gereja ini (di samping alasan yang disebut di atas) dinyatakan oleh F. Sutan Malu Panggabean pada waktu beliau ditanyai oleh Pejabat Pemerintah Simalungun, adalah Firman Tuhan yang tertulis dalam Yakobus 1:22,
“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”.
Dari alasan yang dikemukakan ini tampak dengan jelas bahwa pendirian Gereja HChB yang memperluas namanya menjadi HKI adalah untuk menyelenggarakan Pekabaran Injil (Marturia), persekutuan (Koinonia) dan Pelayanan Kasih (Diakonia).

Perkembangan Mula-mula

Sambutan masyarakat Kristen Batak terhadap H.Ch.B di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu yang relatif singkat (8 Tahun), yaitu pada masa 1927-1930 terdapat 5 Jemaat dengan 220 Kepala Keluarga, dan pada masa 1931-1933 jumlahnya bertambah menjadi 47 Jemaat dan pada masa 1933-1935 jumlahnya sudah mencapai lebih dari 170 Jemaat. Dari daerah Pematang Siantar dan sekitarnya, pada masa 1931-1942, Gereja H.Ch.B sudah menyebar sampai ke Daerah Deli Serdang, Tapanuli, di daerah Humbang, Sipahutar, Pangaribuan, Silindung sekitarnya, Patane Porsea atau Toba Holbung sekitarnya, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sidikalang, atau Dairi sekitarnya, Tanah Alas dan sekitarnya. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa gerakan kemandirian Gereja itu tidak hanya terjadi di Pematang Siantar dan sekitarnya, tetapi juga di Medan. Demikianlah pada tanggal 5 Agustus 1928 oleh 123 orang warga jemaat RMG mendirikan salah satu Jemaat baru di Medan yang disebut “Hoeria Christen Batak Medan Parjolo” (H.Ch.B Medan I). Karena banyak yang tidak senang atas pendirian Gereja baru ini, maka kelompok yang tidak senang ini menamai mereka “Partai 123”. Sebutan ini dimaksud untuk mendiskreditkan Gereja baru ini sebagai partai politik bukan Gereja. Jemaat inilah yang menjadi jemaat HKI jalan Dahlia, Medan sekarang. Semua jemaat diharuskan menyelenggarakan Pendidikan kepada anak-anak setingkat Sekolah Dasar.

Rechtperson dan Hak Menyelenggarakan Sakrament

H.Ch.B yang disebut-sebut oleh orang-orang yang tidak menyukainya sebagai kumpulan Partai Politik, sangat menderita. Karena H.Ch.B tidak diakui sebagai Gereja, maka tidak diberi hak melayankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) oleh pemerintahan Belanda. Atas dasar ini maka Pimpinan H.Ch.B Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean dan Sekretaris I. M. Titoes Lumban Gaol memohon Rechtperson dan izin melayankan sakramen kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta pada tanggal 09 September 1929 dan disusul tanggal 01 Agustus 1931. Akan tetapi jawaban dari Pemerintah Belanda tidak kunjung tiba.
Karena permohonan-permohonan tidak ditanggapi, maka diputuskan untuk mengutus Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Biaya yang dibutuhkan f. 250 (sama dengan harga 310 kaleng beras). Untuk mengusahakan biaya ini ditugaskan pengurus H.Ch.B Pantoan dan Dolok Merangir. Akan tetapi, mereka gagal untuk mencarinya.
Seluruh jemaat di Pematang Siantar dan sekitarnya berdatangan ke Pantoan untuk mendoakan kepergian Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean Pimpinan Gereja mereka agar Tuhan menyediakan biaya yang dibutuhkan dan beliau dituntun, diperlengkapi, dikuatkan serta dipelihara oleh Tuhan dalam perjalanannya. Mereka bernyanyi dan berdoa dengan deraian air mata.
Atas dasar keyakinan, Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean berangkat ke Dolok Merangir dan besok paginya direncanakan berangkat ke Belawan. Beliau sampai di sana pukul 22.30 (malam). Sekretaris I M. T. Lumban Gaol menginformasikan bahwa biaya yang dibutuhkan ke Batavia belum diperoleh.
Dengan lebih dulu bernyanyi dan berdoa diiringi dengan isakan tangis, dalam kegelapan malam Bapak M. T. Lumban Gaol berangkat lagi untuk mengusahakannya. Beliau kembali pada pukul 01.30 (pagi) dengan membawa sejumlah uang yang dibutuhkan. Seorang yang bukan warga gereja berkenan meminjamkannya kepada bapak M. T. Lumban Gaol. Inilah yang memungkinkan keberangkatan Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Dengan diiringi doa dan air mata, seluruh warga jemaat melambaikan tangan untuk memberangkatkan pimpinan Gereja nya ke Batavia.
Di Batavia, melalui bantuan seorang pengacara yang bernama Mr. Hanif, Voorzitter F. Sutan Malu Panggabean dapat menemui Gubernur Jenderal Belanda di Bustenzorg (Bogor sekarang). Setelah dilakukan rapat oleh pemerintah Belanda maka pada tanggal 27 Mei 1933 (dua hari berikutnya) Rechtperson diberikan. Dan sepuluh hari berikutnya, izin melayankan Sakramen juga diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Menyadari pentingnya pelayan untuk melayankan Sakramen maka pada tahun 1933 Voorzitter F. Sutan Malu Panggabean ditahbiskan menjadi Pendeta.

Perluasan Nama H.Ch.B Menjadi HKI

Atas kesadaran perluasan misi Gereja dan atas kesadaran bahwa H.Ch.B bukan hanya untuk berada di Tanah Batak Saja, maka pada Sinode tanggal 16-17 November 1946, nama H.Ch.B (Huria Christen Batak) diperluas menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia). Dalam Sinode ini juga dipilih Voorzitter (Ketua Pucuk Pimpinan yang baru) Pdt. T. J. Sitorus. Beliau inilah yang memimpin HKI sampai Juli tahun 1978 (selama 32 Tahun).

Gereja Kristen Batak (GKB) Pantoan Batu IV Siantar
Gereja Kristen Batak (GKB) Pantoan Batu IV Siantar
Akan tetapi sangat disayangkan, setelah selesai Sinode, ada beberapa Jemaat dan Pendeta yang menyatakan ketidaksetujuan nya pada perluasan nama ini. Mereka terpisah dari HKI dan tetap memakai nama H.Ch.B, yang kemudian diubah menjadi “Gereja Kristen Batak" (GKB). Baru pada tanggal 26 Agustus 1976, Sinode GKB menyatakan diri bergabung kembali dengan HKI.

Kegiatan Oikumenis

Seperti disebutkan di atas, bahwa Badan Zending RMG tidak mengakui H.Ch.B (HKI) sebagai Gereja. Oleh sebab itu, selain dari mempengaruhi Pemerintahan Hindia Belanda yang mempersulit Gereja HChB memperoleh Rechtperson dan izin melayankan sakramen, juga menghambat HChB (HKI) memasuki Badan-Badan Oikumenis di Indonesia dan Internasional selama 40 Tahun. Selama 40 Tahun ini H.Ch.B (HKI) sangat menderita. Semua Perguruan Teologi di Indonesia tertutup untuk H.Ch.B (HKI). Dengan kemampuannya yang terbatas, H.Ch.B (HKI) mendidik para pelayannya (Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrow dan Evangelis) selama 40 Tahun. HKI juga tidak menerima bantuan apapun dari Gereja-gereja dari dalam maupun dari Luar Negeri. Gereja HKI benar-benar berdiri sendiri dalam daya, dana dan Teologi. Selama 40 tahun ini juga, H.Ch.B (HKI) mencatat tiga kali kemelut Internal (masa 1934-1942; 1946; 1959-1964). Akan tetapi oleh anugerah Tuhan pemilik Gereja itu dan dilandasi oleh semangat kemandirian Gereja H.Ch.B (HKI) dapat menyelesaikan sendiri masalah internalnya.

Diterima Dalam Kegiatan Oikumenis

Setelah bergumul di dalam doa dan melalui pendekatan-pendekatan yang sangat melelahkan, maka pada Sidang Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) tanggal 29 Oktober 1967 di Makasar (Ujung Pandang) HKI diterima menjadi Anggota DGI. Sejak HKI diterima menjadi Anggota PGI, terbukalah pintu bagi HKI untuk Persekutuan Gereja-Gereja Internasional. Sekarang HKI adalah salah satu Gereja Anggota di CCA, LWF, WCC, UEM dan memiliki hubungan yang baik dengan Gereja-gereja di Indonesia dan dengan Gereja–gereja di Indonesia dan dengan Gereja-gereja Manca Negara seperti ELCA (Amerika), LCA (Australia), Gereja Rheinland dan Wesfalia di Jerman dan secara khusus memiliki hubungan Partnership dengan K. K. Hamm Jerman.

Keadaan Sekarang

Dalam umurnya yang ke 83 tahun ini, HKI sudah tersebar di persada nusantara yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Warga jemaatnya kurang lebih 355.000 jiwa dan tersebar di 734 Jemaat, 124 Resort, dan 9 Distrik/ Daerah. Dilayani oleh 158 orang Pendeta, 82 Orang Guru Jemaat penuh waktu dan 636 orang Guru Jemaat paruh waktu, 8 orang bibelvrow, 4 Orang Diakones.

Penutup

Semoga memberi informasi dan menginspirasi. If you like, please comment, share and add me to your circle.

*Sumber : http://kanpushki.com/sejarah/, dengan perubahan
1

1 komentar

  • Anonim
    Anonim
    Minggu, November 17, 2024 11:11:00 AM
    Good
    Reply