wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t
Bookmark

Tafsiran Kitab Ayub 7:1-6 dengan Metode Historis Kritis

Tafsiran Kitab Ayub
Tafsiran Kitab Ayub 7:1-6
Pendahuluan
Kitab Ayub termasuk salah satu kitab yang banyak diminati oleh kalangan Kristen. Hal ini karena Kitab Ayub mengandung banyak hikmat, terutama dalam hal menjalani kehidupan bersama dengan Tuhan yang sering sekali dihinggapi oleh berbagai macam pencobaan. Dengan membaca kitab Ayub kita akan melihat dan merasakan bahwa Tuhan selalu bersama dengan anak-anak-Nya yang setia kepada-Nya dan tidak akan pernah sekalipun meninggalkannya.
Dalam tafsiran ini tidak akan dibahas secara menyeluruh tentang Ayub, agar lebih efektif maka penafsir memilih Ayub 7:1-6 saja untuk ditafsirkan. Karena penafsir melihat bahwa hal ini adalah hal yang menarik untuk didalami atau ditafsirkan. Karena dalam posisi ini Ayub sudah mulai meragukan dan menyesali kehidupannya dan mulai menanyakan pencobaan Allah yang tiada henti. Hal ini menarik untuk didalami, mengingat Ayub selama ini dipahami dekat kepada Allah. Lantas jika ia dekat kepada Allah, mengapa mengeluh dan bukan berserah? Inilah yang akan didalami di dalam sajian ini agar diketahu lebih dalam lagi.

Pembahasan
-         Pengantar Metode Historis Kritis
Pengertian Metode Historis Kritis
Metode Historis Kritis adalah suatu cara penafsiran Alkitab yang menaruh perhatian kepada perspektif sejarah, sebagai alat utama untuk menemukan arti dan makna yang terkandung dalam suatu teks Alkitab, yakni sejarah dalam teks. Berdasarkan penyelidikan dalam teks, maka kita akan mengetahui bagaimana kondisi-kondisi keagamaan, sosial, budaya dan politik atau sejumlah periode sejarah yang di dalam teks itu sendiri, yaitu bagaimana teks itu ditulis, apa yang mempengaruhinya, pemeliharaannya, dan perluasannya. Metode ini juga dikenal dengan metode kritik historikal, untuk meneliti asal-usul teks kuno untuk memahami makna di balik teks.[1]
Historis Kritis juga merupakan suatu metode yang sangat diperlukan untuk menggali kebenaran Alkitab dari segi sejarahnya. Historis kritis sering juga disebut “kritisme tinggi” yang mempertanyakan tentang penulisan dan waktu penulisan, kategori-kategori sastranya dan sebagainya.[2] Historis kritis juga berarti menggali latar belakang penulisan, sejarah kebudayaan dan geografis suatu tulisan teks.[3]

Tujuan Metode Historis Kritis
Metode historis kritis bertujuan untuk menemukan arti dan makna dari sebuah teks dengan mengutamakan dari unsur segi kesejarahannya secara kritis dan sistematis dan menjaga agar penafsir-penafsir tidak memaksakan teks dari kebudayaan yang asing atau masa-masa yang lebih awal dari kebudayaan seseorang dari horizon pengertian masa kini.[4] Maka dapat dikatakan metode historis kritis adalah salah satu metode yang sangat diperlukan bagi studi karya ilmiah untuk mengkaji, mengaruniakan dan melihat arti dan makna di dalam teks-teks kuno yang terdapat dalam Alkitab.

-         Pengantar Kitab Ayub
Arti Nama Kitab
Kitab Ayub termasuk salah satu dari kelompok kitab hikmat. Disebut sebagai kitab hikmat, karena kitab ini berisi filsafat-filsafat hidup yang membimbing manusia kepada keberhasilan hidup. Itulah yang ditunjukkan oleh kitab Ayub yang menunjukan salah satu usaha memaknai kehidupan berdasarkan kenyataan hidup manusia.[5]
Nama kitab ini adalah kitab Ayub. Ayub sendiri berasal dari kata Iyyob, dan demikianlah nama kitab ini di dalam kitab Ibrani. Nama ini kemungkinan memiliki dua arti, pertama, jika kata ini adalah turunan kata Ibrani, “penganiayaan” maka berarti, “orang yang teraniaya.” Kedua, yang lebih mungkin adalah dalam bahasa Arab yang berarti “kembali” atau “bertobat” sehingga dapat diartikan sebagai “orang yang bertobat.”[6] Kendati demikian kedua istilah ini sebenarnya cocok digunakan untuk arti kitab ini karena juga menggambarkan isi dari kitab ini.

Penulisan Kitab
Kitab Ayub adalah kitab yang ditulis dalam bentuk puisi dramatis oleh seorang yang pengarang yang tidak dikenal, dan tidak tertulis petunjuk mengetahui identitasnya.[7] Kitab Ayub membahas sebuah pertanyaan kuno setua keberadaan manusia: Mengapa orang benar menderita?[8] Kitab ini tidak menyebutkan nama penulis. Talmud resmi, diikuti oleh banyak penulis Kristen zaman dahulu menyebutkan bahwa kitab ini dituliskan oleh Musa. Hal ini didasarkan kepada penyebutan orang Kasdim sebagai penyamun yang mengembara (1:17). Tanah Us (1:1) yang berbatasan dengan Midian adalah tempat di mana Musa tinggal selama 40 tahun, sehingga dapat dimengerti Musa memperoleh tulisan mengenai percakapan yang ditinggalkan oleh Ayub atau Elihu.[9] Dan qesita yang bersifat kuno (42:11), menunjukkan kepada kekunoan cerita dan bukan bentuk sastranya.[10] Namun latar belakang budaya non Ibrani dari kitab ini dapat memberi petunjuk bahwa penulisnya adalah bangsa lain.[11]
Namun menurut Blommendaal kitab Ayub kemungkinan tidak berasal dari Israel, melainkan ada kemungkinan berasal dari Edom. Karena bahasa yang digunakan dalam kitab ini dipengaruhi oleh bahasa Semit Selatan. Juga terasa pengaruh bahasa Arab dan Aram. Para ahli juga berpendapat bahwa cerita asli atau yang berasal dari zaman kuno tentang tokoh Ayub terdapat pasa pasal 1, 2 dan 42:7-16.[12] Pasal-pasal ini ditulis dalam bentuk prosa, sementara bagian isinya (3-42:6) dituliskan dalam bentuk puisi.  Dengan memperhatikan besarnya pengaruh bahasa Aram dalam itab Ayub, maka para ahli berkesimpulan bahwa kitab Ayub ditulis pada masa sesudah pembuangan (700 dan 600 sM).[13]
Beberapa teori yang telah diajukan mengenai tanggal penulisan: (1) Kitab ditulis segera sesudah peristiwa-peritiwa tersebut terjadi, mungkin oleh Ayub atau Elihu; (2) Ditulis oleh Musa di Midian (1485-1445 SM); (3) Ditulis pada zaman Salomo (kira-kira tahun 950 SM—Kitab Ayub mirip dengan kitab-kitab hikmat lain pada zaman itu—bandingkan pujian hikmat dalam Ayub 28 dan Amsal 8. Hanya saja masalahnya adalah rentang waktunya sangat jauh, sekitar seribu tahun); atau (4) ditulis selama atau sesudah pem- buangan ke Babel.[14]

Tema dan Tujuan
Mengapa orang Saleh menderita Jika Allah mengasihi dan penuh kuasa? Penderitaan itu sendiri bukanlah tema pokok, tetapi fokusnya adalah pelajaran yang diperoleh Ayub dari penderitaannya kedaulatan Allah atas seluruh ciptaan. Kesimpulan dari badai cobaan tersebut adalah bahwa Allah berdaulat dan layak disembah apapun yang Ia lakukan. Ayub harus belajar mempercayai kebaikan yang dialaminya, dengan memperluas pengertiannya akan Tuhan. Bahkan orang saleh ini (1:1) perlu bertobat karena menjadi sombong dan merasa benar sendiri. Ayub mengerti bahwa Allah adalah Tuhan "atas segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi dan segala yang ada di bawah bumi" (Flp. 2:10). Allah itu maha tahu, maha kuasa dan baik. Hanya saja jalan-Nya kadang tidak dapat dimengerti oleh manusia tetapi Ia selalu dapat dipercaya. Penderitaan tidak selalu berkaitan dengan dosa; Tuhan yang berdaulat itu sering menggunakan penderitaan untuk menguji dan mengajar.[15]

Struktur Kitab
Untuk lebih memudahkan dalam memahami dan menggambarkan kitab Amsal maka perlu suatu pemetaan atau penggambaran struktur kitab sebagaimana diusulkan oleh beberapa buku.
Menurut Purwa Pustaka[16]
1-2
Prolog
Bagaimana Ayub yang diberkati menjadi sangat menderita

1:1-5
Penyajian Ayub yang saleh sebagai teladan dan yang diberkati

1:6-2:10
Pecobaan ganda Ayub

2:11-13
Datangnya teman-teman untuk menghibur Ayub—Transisi ke dialog
3
Monolog
Keluhan Ayub berkenaan dengan kehidupannya yang ditandai oleh penderitaan
4-28
Dialog
Ayub dan teman-temannya berusaha untuk mencari alasan dan tujuan penderitaan Ayub

1-14
Sederatan ucapan-ucapan pertama: Ganjaran yang adil

15-21
Sederatan ucapan-ucapan kedua: Nasib orang jahat

22-28
Apa yang dinamakan “sederetan ucapan-ucapan ketiga”: Tuduhan Ayub dan berbalik menentang teman-temannya.
29-31
Monolog
Ayub menantang Allah untuk adu hukum
32-37
Monolog
Ucapan-ucapan Elihu kepada Ayub dan teman-temannya

32:1-5
Prolog: Memperkenalkan Elihu

32:6-33:33
Ucapan pertama Elihu: Mengenai fungsi pedagogis dari penderitaan dan malaikat pengantara

34-35
Ucapan-ucapan kedua dan ketiga Elihu: Mengenai kebenaran Allah

36-37
Ucapan keempat Elihu: Mengenai penampakan diri, Allah Sang Khalik yang adil
38-42:6
Monolog
Allah menguraikan tatanan dunia kosmis

38-39
Ucapan pertama Allah: Penciptaan dan pemeliharaan ciptaan

40:1-5
Respons Sementara: Janji Ayub untuk diam

40:6-41:25
Ucapan kedua Allah: Hak dan kekuatan Allah Sang Khalik

42:1-6
Respons penutup: Pengakuan Ayub sebagai mahluk ciptaan
42:7-17
Epilog
Bagaimana Ayub yang menderita diberkati secara baru

Menurut Survei Perjanjian Lama[17]
I.                     
Prolog (1-2)
II.                  
Dialog

A.      
Ratapan pembukaan Ayub (3)

B.      
Putaran 1: Penghiburan


1.       
Elifas (4-5)


2.       
Ayub (6-7)


3.       
Bildad (8)


4.       
Ayub (9-10)


5.       
Zofar (11)


6.       
Ayub (12-14)

C.      
Nasib orang fasik


1.       
Elifas (15)


2.       
Ayub (16-17)


3.       
Bildad (18)


4.       
Ayub (19)


5.       
Zofar (20)


6.       
Ayub (21)

D.      
Putaran 3: Tuduhan-tuduhan khusus


1.       
Elifas (22)


2.       
Ayub (23-24)


3.       
Bildad (25)


4.       
Ayub (26-27)
III.                
Selingan: Nyanyian Hikmat (28)
IV.               
Percakapan

A.      
Perckapan 1: Ayub


1.       
Kenangan (29)


2.       
Kesengsaraan (30)


3.       
Sumpah (31)

B.      
Percapakan 2: Elihu


1.       
Pendahuluan dan teori (32-33)


2.       
Keputusan terhadap Ayub (34)


3.       
Kecaman terhadap Ayub (35)


4.       
Pernyataan penutup berupa rangkuman (36-37)

C.      
Percakapan 3: Allah


1.       
Ucapan 1 (38-39)


2.       
Ucapan 2 (40-41)

D.      
Pernyataan-pernyataan penutup Ayub (40:3-5; 42:1-6)
V.                  
Epilog (42:7-17)

Menurut Alkitab Edisi Studi[18]
§  Cerita Ayub Dimulai (1:1-2:13)
§  Ayub Berbicara dengan Sahabat-sahabatnya tentang Penderitaannya (3:1-31:40)
Debat Babak Pertama ( 3:1-14:22)
Debat Babak Kedua (15:1-21:34)
Debat Babak Ketiga (22:1-31:40)
§  Elihu Berbicara kepada Ayub dan Sahabat-sahabat Ayub (32:1-37:24)
§  Tuhan Berbicara kepada Ayub, dan Ayub Menjawab (38:1-42:6)
§  Kisah Ayub Berakhir (42:7-17)

-         Perbandingan Bahasa
Untuk lebih memahami dan mendalami makna dari teks maka perlu kiranya memperbandingkan bahasa dari ayat per ayat untuk memudahkan dalam penafsiran. Dalam perbandingan bahasa ini akan digunakan adalah Terjemahan Baru (TB) dari Lembaga Alkitab Indonesia, bahasa daerah (Toba) dari bible, King James Version, dan Tek Masora (TM).
Ayat 1
TB                         :     Bukankah … harus bergumul
Bibel                      :     Nda ulaon porang, bukankah pekerjaan perang
KJV                      :     Is there not an appointed time, bukankah di sana (bumi) waktu yang ditentukan
TM                     :     הֲלֺא־עָבָא (halo-saba), is not a hard service, bukankah suatu pelayanan yang sukar
Keputusan              :     Tidak ada yang mendekati TM

Ayat 2
TB                         :     Seperti kepada seorang budak
Bibel                      :     Songon hatoban, seperti pelayan
KJV                       :     As a servant, seperti seorang pelayan
TM                        :     כְּעֶבֶד (keebed), like a slave, seperti seorang budak
Keputusan              :     Tidak ada yang mendekati TM

Ayat 3
TB                         :     Dibagikan
Bibel                      :     Diturpukkon, dijatahkan, ditakdirkan
KJV                       :     Made to possess, dibuat untuk memiliki
TM                        :     כֵ֤ן הָנְחַ֣לְתִּי (ken hanehalti) so I am allotted, jadi aku dibagikan
Keputusan              :     Yang mendekati TM adalah TB.

Ayat 4
TB                         :     Pergi tidur
Bibel                      :     Laho modom, pergi tidur
KJV                       :     Lie down, berbaring
TM                        :     אִם־שָׁכַבְתִּי (im-sakabti), when I lie down, ketika aku berbaring
Keputusan              :     Yang mendekati TM adalah KJV

Ayat 5
TB                         :     Berenga[19] dan abu
Bibel                      :     Gulok-gulok dohot orbuk, ulat-ulat dan abu
KJV                       :     Worms and clods of dust, ulat-ulat dan gumpalan debu
TM                        :     רִמָּה זְגִיּשׁ עָפָר (rimmah wegis apar), worms and clods of dust, ulat-ulat dan gumpalan debu
Keputusan              :     Yang mendekati TM adalah KJV

Ayat 6
TB                         :     Dari pada torak[20]
Bibel                      :     Sian Turak, daripada sebuah tungkai pemintal benang
KJV                       :     Than a weaver’s shuttle, daripada sebuah puntalan penganyam
TM                        :     מׅנִּי־אָרֶג (minni-areg), than a loom, daripada sebuah perkakas tenun
Keputusan              :     Tidak ada yang mendekati TM

-         Sitz Im Leben (Setting in Life)
Konteks Agama
Dalam kitab Ayub yang ditekankan adalah Teologi penulisnya, bukan tokoh Ayubnya. Dalam Ayub akan kita temui dua aliran hikmat yang bertentangan, meski keduanya mendasarkan pemahamannya pada keadilan Allah. Pada satu sisi sahabat-sahabat Ayub menuduh Ayub telah berbuat dosa kepada Allah, sehingga Allah memberikan hukuman kepadanya. Sementara itu Ayub menolak tuduhan itu karena ia merasa tidak berbuat dosa.[21] Hal ini menunjukkan bagaimana pemahaman atau relasi dari Tuhan kepada manusia pada saat itu. Memang tidak dapat disimpulkan secara langsung bahwa konteks agama pada masa itu adalah agama Israel atau agama Yahudi sebagaimana dipahami pada saat ini, namun konsep tentang ketuhanan sudah ada pada masa itu, bahwa mereka telah menyembah Tuhan dan telah memahami kemungkinan relasi yang ada antara Tuhan dan manusia. Sisi teologis sangat nampak dalam kitab Ayub. Kitab Ayub diawali dengan percakapan antara Allah dengan Iblis di surga.[22] Ini menunjukkan bahwa konsep ketuhanan pada masa itu telah ada, namun belum ada konsep atau tentang pemahaman keberagamaan seperti sekarang. Ayub hidup pada zaman sebelum ada imam-imam dan agama yang terorganisasi, atau di sebuah daerah yang tidak memerlukan hal-hal itu. Ini mengingatkan kita kepada Abraham: orang dari Timur.[23]

Konteks Budaya
Ayub seorang Syekh yang kaya raya dan berpengaruh – kaya dalam arti banyak ternak, bukan uang tunai. Selama beberapa bulan dalam setahun Ayub menjadi orang kota; dalam waktu selebihnya ia berkelana menggembalakan ternaknya.[24]

Konteks Politik
Latar dari kitab ini adalah di surga dan di bumi. Di surga adalah percakapan antara Allah dengan Iblis dan bumi adalah latar dari kisah Ayub dikisahkan. Lebih spesfik lagi di bumi adalah daerah Tanah Us (Utara Arab) di daerah Edom, sebeblah tenggara Laut Mati (lih. 4:21).
Kisah tentang Ayub diceritakan pada masa sebelum Israel ada. Ayub disebutkan dalam kitab Yehezkiel (14:14, 20), bersama dengan Nuh, sebagai orang yang setia di zaman purba. Pada masa Ayub, kekayaan diukur berdasarkan jumlah pemilikan ternak (1:3); 42:12)[25] dan pelayan yang dimiliki oleh seseorang, bukan uang, karena pada masa itu uang tidak digunakan secara umum pada waktu itu.[26] Dengan demikian bisa kita katakana bahwa pada masa itu belum ada raja atau sistem pemerintahan dalam dunia Israel bahkan Israel sendiri belum ada, jika mengikuti kemungkinan-kemungkinan di atas. Sistem sosial pada masa itu adalah kaum-keluarga (suku) leluhur.[27] Sama seperti Abraham, Ishak dan Yakub, Ayub adalah imam bagi keluarganya dan mempersembahkan kurban bakaran.

-         Kritik Apparatus
Ayat 1
Kata עֲ֩לֵ (‘al) yang berarti ‘pada’ mendapatkan usul perbaikan dari ahli-ahli Masora di pinggir halaman untuk dibaca atau disampaikan dengan lisan saja, jikalau teks tertulis tidak betul atau sulit dimengerti. Para ahli mengusulkan perbaikan kata עֲלֵי (‘ălê) tanpa perubahan arti, hanya perubahan tanda baca. Sementara itu kata עֲ֩לֵ (‘al) yang tertulis sesuai dengan huruf-huruf mati Tesxtus Masoreticus (TM) sebagaimana dicantumkan dalam Kodeks Leningradensis[28] adalah kata עַל (al) yang memiliki arti yang sama pula, tidak boleh diubah atau diperbaiki, sekalipun jelas terlihat salah tulis.
Keputusan:   Penafsir menerima usulan dari kritik apparatus, karena memperjelas teks.

Ayat 4
Kata אָקוּם (aqum) yang berarti ‘aku akan bangun’ barangkali yang dimaksudkan adalah kata יֵאֺר וְאָקוּם (artinya tidak ditemukan penafsir). Sementara itu, kata וּמִדַּ֠ד (umiddad) yang berarti ‘malam panjang’ peneliti modern mengusulkan atau menganjurkan untuk menggunakan kata וּמׅדֵּי (artinya tidak ditemukan penafsir).
Keputusan:   Penafsir tidak menerima usulan dari apparatus karena tidak menemukan artinya

Ayat 5
Kata וְג֣יּ֩שׁ (wegis) yang berarti ‘dan gumpalan’ dalam teks Ibrani dari kodeks para nabi yang disalin pada tahun 895 menggunakan kata וְגוּשׁ sebagaimana juga usul perbaikan dari ahli-ahli Masora di pinggir halaman untuk dibaca atau disampaikan dengan lisan saja, jikalau teks tertulis tidak betul atau sulit dimengerti. Sementara itu kata וְג֣יּ֩שׁ  yang tertulis sesuai dengan huruf-huruf mati Tesxtus Masoreticus (TM) sebagaimana dicantumkan dalam Kodeks Leningradensis[29] adalah kata וְגִישׁ (wegis) yang memiliki arti yang sama pula, tidak boleh diubah atau diperbaiki, sekalipun jelas terlihat salah tulis. Kata עָפָ֑ר (apar) yang berarti ‘debu’, barangkali (mungkin) kata untuk dicoret.
Keputusan:   Usul perbaikan penulisan untuk dibaca diterima oleh penafsir karena akan memperjelas teks jika dibaca, namun usulan penghapusan teks (apar) ditolak oleh penafsir, karena akan menghilangkan makna teks yang sebenarnya.

-         Terjemahan Akhir Ayub 7:1-6
Ayat 1
"Bukankah suatu pelayanan yang sukar bagi manusia di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?
Ayat 2
Seperti seorang budak yang merindukan naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya,
Ayat 3
jadi aku dibagikan bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan.
Ayat 4
Ketika aku berbaring, maka pikirku: Bilakah aku akan bangun? Tetapi malam merentang panjang, dan aku dicekam oleh gelisah sampai dinihari.
Ayat 5
Ulat-ulat dan gumpalan debu menutupi tubuhku, kulitku menjadi keras, lalu pecah.
Ayat 6
Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada sebuah perkakas tenun, dan berakhir tanpa harapan.

-         Tafsiran
Pasal 7 ini adalah respon atau jawaban Ayub atas penderitaan yang ia alami. Setelah ia menyesali kehidupannya, bahkan ia menyesali telah dilahirkan ke dunia (pasal 3). Lalu ia mengadakan dialog dengan Elifas mengenai penderitaan yang ia alami (pasal 4-5). Lalu pada pasa 6-7 Ayub memberikan jawabannya atau responnya kepada Allah atas apa yang menimpanya.
Ayat 1
"Bukankah suatu pelayanan yang sukar bagi manusia di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan? Ungkapan bukankah suatu pelayanan yang sukar bagi manusia adalah ungkapan penyesalan atas peristiwa yang Ayub alami apalagi setelah mendengarkan apa yang dinyatakan oleh kawan-kawannya. Ayub dulunya adalah seorang yang sangat kaya, paling kaya di negerinya. Bisa dibayangkan apabila sangat kaya, maka pasti namanya termashyur di segala sudut kota. Apalagi dengan penyertaan Tuhan ia semakin sukses dan kaya di dalam hidupnya. Tetapi tiba-tiba ia bisa dikatakan bangkrut dan secara sekeja semua yang ia miliki ludes habis.[30] Semua yang sudah ia perjuangkan harus lenyap seketika. Apabila secara manusiawi kehilangan hasil yang diperjuangkan itu pasti sangat menyakitkan. Apalagi dibangun dengan kerja keras dan kesetiaan. Tetapi seketika hilang, rasanya semagat didup pastilah hilang. Tidak berhenti di situ saja ia justru mendapat cibiran dari orang-orang di sekitarnya, bahkan dari para sahabatnya. Dalam keadaan demikian, pandangan orang pasti lain, mengapa tiba tiba hilang semua hartanya? Dalam kehidupan Ayub yang demikian dekat dengan Tuhan, semua orang jadi berprasangka buruk, bahwa Ayub telah jatuh ke dalam dosa besar. Karena itu semua orang segera mencibirnya dan segera menganggap Ayub telah membuat Allah murka. Demikianlah tahapann-tahapan yang harus dilalui oleh Ayub. Sehingga secara manusiawi sebenarnya wajar Ayub merasa sangat terpukul dan sangat sakit. Belum lagi anak-anaknya dan istrinya, semuanya lenyap. Akhirnya dia harus menanggung sendiri apa yang menimpanya dengan sakit pula. Sehingga wajarlah dia mengeluh dan merasa Allah tidak adil sebab ia tidak melakukan satu kesalahan apapun tapi harus menderita. Karena itu keluarlah ungkapan pelayanan yang sukar, sulit dimengerti mengapa harus demikian, bahkan digambarkan seperti orang upahan. Masyarakat PL tidak biasa bekerja untuk mendapatkan upah. Tetapi tiap keluarga biasanya punya tanah masing-masing untuk diusahakan. Jika tidak, agar bisa makan dan bertahan hidup, maka terpaksa menjual diri kepada tuan tanah, menjual dirinya menjadi hamba dan tidak boleh menentang majikannya.[31] Orang upahan memiliki kehidupan yang sangat buruk, bahkan tidak berharga. Upah dibayarkan harian sebelum matahari terbenam (Ul. 24:14). Tetapi, dapat juga dibayarkan pada akhir tahun (Yes. 21:16). Besarnya upah tidak disebutkan berapa, tetapi berdasarkan kepada perumpamaan Yesus tentang pekerja di kebun anggur upahnya adalah satu dinar[32] sehari (Mat. 20:2).[33] Mengetahui hal itu demikianlah halnya kehidupan dalam bayangan Ayub setelah ia mengalami penderitaan. Baginya hidup tidak pasti dan tidak tau arah, sama seperti seorang budak.

Ayat 2
Seperti seorang budak yang merindukan naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya.
Pemisalan Ayub dilanjutkan dengan mengibaratkan seorang budak dan upahan. Ayub menggambarkan bahwa seorang budak merindukan naungan. Seorang budak, baik laki-laki atau pun perempuan biasanya dianggap sebagai milik orang lain dan tidak berharga (lih. Misalnya kisah Hagar dan Sara), tanpa hak dapat dipakai atau digunakan dengan cara apapun sesuai kemauan pemilik.[34] Namun dalam hukum Ibrani, budak dapat dibebaskan, budak akibat hutang dapat dibebaskan setelah 6 tahun (Kel. 21:22; Ul. 15:12, 18). Orang Ibrani yang menjual dirinya menjadi budak harus dibebaskan pada tahun Yobel[35] (Im. 25:39-43, 47-55). Dalam hal ini tidak jelas dikatakan budak karena apa, tetapi menjadi budak bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dengan kelelahan fisik dan ketiadaaan hak, gaji yang tidak pasti, maka sangat menyakitkanlah kehidupan seorang upah. Karena itu budak selalu merindukan kapan bebasnya dirinya dan itu butuh waktu yang sangat lama. Karena itu budak selalu merindukan kebebasan dalam hal ini disebutkan naungan. Artinya ada harapan yang tidak pasti. Sama seperti seorang upahan menunggu upahnya.

Ayat 3-4
Jadi aku dibagikan bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan. Ketika aku berbaring, maka pikirku: Bilakah aku akan bangun? Tetapi malam merentang panjang, dan aku dicekam oleh gelisah sampai dinihari.
Kesusahan itu dalam menjadi ketiadaan arti hidup, menjadi bulan-bulan yang sia-sia, malam demi malam dilalui dengan penuh susah. Siang bekerja keras dan malam kesusahan berpikir, sehingga malam dilalui dengan kesusahan, bukan hari-hari yang menyenangkan. Ketika berbaring harusnya adalah waktu yang ditunggu untuk merebahkan badan dan segera beristirahat, namun itupun tidak dapat dilakukan karena pikiran yang tidak tenang. Ungkapan malam merentang panjang menggambarkan betapa sepanjang malam ketidaktenangan pikiran itu menghantuinya. Sehingga ia tidak tenang tidur dan bangun pagi pun terasa tidak segar seperti biasanya. Itulah ibarat kesusahan yang dirasakan oleh Ayub begitu dalam.

Ayat 5
Ulat-ulat dan gumpalan debu menutupi tubuhku, kulitku menjadi keras, lalu pecah.
Ayub mengalami penderitaan yang sangat banyak, salah satu penderitaan yang turut ia tanggung adalah penyakit. Iblis mendatangkan penyakit yang hebat atas Ayub, yakni penyakit puru,[36] dari kepalanya sampai telapak kakinya, sehingga sangat ngeri untuk melihatnya. Penyakit itu sangat gatal sekali dan dengan terpaksa ia harus menggaruknya dengan sekeping beling.[37] Dapat dibayangkan alangkah sakitnya yang Ayub rasakan, karena penyakit yang ia derita, kulitnya menjadi busuk dan bau, sehingga ia harus menderita dan dikucilkan di luar kota, karena dianggap telah mengidap penyakit kusta dan orang takut untuk menyentuhnya. Sesudah terkucil, tidak saja berhenti di situ, tubuhnya pun dihinggapi oleh ulat-ulat seperti yang menghinggapi bangkai biasanya. Karena dia terkucil, ia pun harus hidup di luar kota. Ayub tinggal di daerah padang gurun yang banyak debunya. Penyakit kulitnya mengeluarkan cairan yang bau sekali dan itu ditutupi oleh abu di padang gurun, dengan panas di gurun, menjadi keringlah luka itu dan mengeras. Lalu ketika waktunya atau ketika terbentur, bisa menimbulkan sakit yang luar biasa.

Ayat 6
Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada sebuah perkakas tenun, dan berakhir tanpa harapan.
Semua penderitaan itu dirasakan oleh Ayub dan tentu saja sangat menyakitkan. Bahkan karena hal yang ia alami itu, ia menjadi pasrah dan demikian ia lalui secara terus menerus. Sampai ia mengibaratkannya dengan lebih cepat dari perkakas tenun. Artinya masalah itu telah biasa ia rasakan dan pada akhirnya menjadi hari yang biasa baginya. Seperti pada ayat 3, sudah seperti jadi bulan kesia-kesiaan, dengan hidup tiada arti maka hidup berlalu begitu saja baginya.

-         Refleksi Teologis
Refleksi Teologis untuk tafsiran ini diambil dari Yakobus 1:12 “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Demikianlah kisah kehidupan Ayub, ia merasakan penderitaan yang begitu berat. Banyak hal yang ia rasakan yang menyiksa kehidupannya. Tetapi pada akhirnya Tuhan balaskan kembali kepadanya apa yang sepadan dengan kesetiaannya, bahkan lebih dari yang pertama sekali. Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya yang setia kepada-Nya, karena itu setialah dalam segala keadaan atau bahkan dalam penderitaan.

-         Skopus
Setialah kepada Tuhan dalam keadaan apapun.

-         Kesimpulan
Ayub adalah salah satu model dari kesetiaan mengikut Tuhan walau dalam penderitaan sekalipun. Ia kehilangan semua apa yang ia miliki dan apa yang ia dapatkan dari Allah. Semua itu secara kedangingan terasa berat dan sangat menyakitkan. Hal yang paling disoroti sebenarnya adalah bukan tokoh Ayubnya, melainkan konsep teologis kesetiaan mengikut Tuhan. Meski seorang yang diberkati Tuhan, bisa Ia ambil kapan saja Ia mau. Karena itu kita harus siap menghadapi apapun yang akan menimpa kehidupan.
Dalam penderitaan yang dirasakan oleh Ayub sebagai manusia biasa sebenarnya ia megeluh dan mengadili Tuhan, karena menurutnya Tuhan tidak adil, sebab dalam amatannya ia tidak berbuat dosa sama sekali di hadapan Tuhan. Tetapi mengapa ia merasakannya? Kehidupan ini tidak melulu apa yang kita pikirkan dan kita rasa benar, tetapi ada rencana Tuhan yang kita manusia tidak bisa jangkau, karena itu selalu lah berserah kepada Tuhan, apapun masalah di kehidupan kita. Ayub memang pada awalnya menghakimi dan menganggap Tuhan tidak adil, seandainya itu terus ia lakukan dan tidak berbalik kepada Tuhan, maka cerita Ayub tidak akan berakhir dengan bahagia. Tetapi ia terus setia kepada Tuhan, maka Tuhan pun memberikan apa yang menjadi ganjarannya, yaitu kebahagiaan dan Tuhan kembalikan semua kepunyaannya, itulah upah mengikut Tuhan.


[1] Jonar T. H. Situmorang, Bibliologi: Menyikapi Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Andi, 2013), 232.
[2] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia 2007), 219.
[3] Dud H. Soesilo, Mengenal Alkitab Anda, (Jakarta: LAI, 2001), 106.
[4] Robert M. Grant dan David Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 173.
[5] Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, (Bandung: Bina Media Informasi, 2009), 202.
[6] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk Thru The Bible: Mengenal Alkitab Secara Lengkap dalam Waktu Singkat, (Malang: Gandum Mas, 2017), 194.
[7] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 194.
[8] George W. Knight, The Illustrated Bible Handbook: Pendampingan Studi Alkitab Sehari-hari, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 134.
[9] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 194.
[10] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 113.
[11] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 194.
[12] W. S. Lasor, D. A. Hubbard dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 108.
[13] Barnabas Ludji, Pemahaman, 202-203.
[14] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 195.
[15] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 197.
[16] Jan Christian Gertz dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Deuterokanonika, (Jakarta: Gunung Mulia, 2017), 649.
[17] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2013), 404.
[18] Alkitab Edisi Studi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2012), 816.
[19] Berenga=bernga, ulat kecil-kecil putih (bakal lalat dan sebagainya) yang biasa terdapat pada bangkai yang telah membusuk.
[20] Alat tenun berupa tabung kecil yang dalamnya berisi kumparan benang pakan.
[21] Barnabas Ludji, Pemahaman, 201.
[22] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk Thru The Bible: Mengenal Alkitab Secara Lengkap dalam Waktu Singkat, (Malang: Gandum Mas, 2017), 193.
[23] Handbook to the Bible: Pedoman Lengkap Pendalaman Alkitab, (Bandung: Kalam Hidup, 2015), 358.
[24] Handbook, 358.
[25] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 194.
[26] Alkitab Edisi Studi,815-816.
[27] Bruce Wilkinson Kenneth Boa, Talk, 195.
[28] Kodeks Leningraadensis, tangan pertama (penulis asli).
[29] Kodeks Leningraadensis, tangan pertama (penulis asli).
[30] F. L. Baker, Sejarah Kerajan Allah 1: Perjanjian Lama, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015),238-239.
[31] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2001), 529.
[32] Mata uang perak yang bergambar Kaisar Romawi (Mrk. 12:16). Setara dengan dirham Yunani, sebagaimana dikenal di Timur, senilai dengan seekor domba. Lih. Kamus Alkitab, 82.
[33] Kamus Alkitab, 470.
[34] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, 198.
[35] Perayaan setiap tujuh tahun dan terutama setiap 50 tahunsetelah 7 x 7 tahun (Im. 25:8-13). Lih. Kamus Alkitab, 495.
[36] Semacam penyakit kulit yang sangat berbisa.
[37] F. L. Baker, Sejarah, 239.


-         Daftar Pustaka
Alkitab Edisi Studi, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2012.
Baker, F. L., Sejarah Kerajan Allah 1: Perjanjian Lama, Jakarta: Gunung Mulia, 2015.
Browning, W. R. F., Kamus Alkitab, Jakarta: Gunung Mulia 2007.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2001.
Grant, Robert M. dan Tracy, David, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, Jakarta: Gunung Mulia, 1988.
Hill, Andrew E. dan Walton, John H., Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2013.
Jan Christian Gertz dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Deuterokanonika, Jakarta: Gunung Mulia, 2017.
Kenneth Boa, Bruce Wilkinson, Talk Thru The Bible: Mengenal Alkitab Secara Lengkap dalam Waktu Singkat, Malang: Gandum Mas, 2017.
Knight, George W., The Illustrated Bible Handbook: Pendampingan Studi Alkitab Sehari-hari, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Lasor, W. S., Hubbard, D. A. dan Bush, F. W., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Ludji, Barnabas, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, Bandung: Bina Media Informasi, 2009.
Situmorang, Jonar T. H., Bibliologi: Menyikapi Sejarah Perjalanan Alkitab dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Andi, 2013.
Soesilo, Dud H., Mengenal Alkitab Anda, Jakarta: LAI, 2001.
Posting Komentar

Posting Komentar